Pekanbaru, beritaaksiterkini.com - Kompor Foundation, yayasan yang aktif dalam mengamati serta mengawal pemerataan pendidikan, memperingatkan bahwa program seragam sekolah gratis Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang dijanjikan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid dapat berpotensi gagal dan justru memicu ketimpangan serta kegaduhan sosial. Meskipun digadang-gadang sebagai solusi untuk mengurangi angka putus sekolah, program ini dinilai terhambat oleh beberapa permasalahan yang ada, seperti keterbatasan anggaran, pendataan yang rawan manipulasi, ketidakpastian pelaksanaan, dan risiko daerah terpencil tersisih, yang dapat membuat masyarakat kecewa dan memicu kegaduhan masyarakat.
Gubernur Riau Abdul Wahid awalnya menjanjikan seragam gratis untuk seluruh siswa baru di jenjang SMA sederajat, namun kemudian pernyataan ini dianulir oleh Plt Kepala Dinas Pendidikan Riau Erisman Yahya mengungkapkan bahwa dengan adanya kondisi keterbatasan anggaran, hal ini memaksa program tersebut hanya menyasar siswa SMA sederajat yang kurang mampu (afirmasi). Sekretaris Umum Kompor Foundation, Ade Saputra SE., menyebut kebijakan ini sebagai langkah setengah hati yang berisiko memperdalam ketimpangan. “Janji besar Gubernur kini dipangkas karena minimnya anggaran yang ada. Banyak keluarga yang tidak termasuk kedalam kategori kurang mampu tapi mereka tetap kesulitan membiayai seragam, akhirnya mereka dibiarkan dan terpaksa berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan seragam mereka. Dan tanpa adanya transparansi dana, masyarakat akan sulit percaya program ini adil,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kompor Foundation juga menyoroti pendataan siswa penerima bantuan yang rawan manipulasi, ketidakpastian jadwal dan jumlah seragam, serta ancaman ketimpangan regional. Pendataan yang mengandalkan verifikasi faktual ke rumah siswa berpotensi kacau karena minimnya sumber daya sekolah, baik secara logistik maupun sumber daya manusia sekolah yang sangat terbatas untuk melakukan pendataan secara faktual kerumah para siswa. Hal ini belum lagi jika memperhatikan di daerah-daerah terpencil, yang ada di Riau. Daerah terpencil di Riau, yang sering kali menghadapi tantangan logistik seperti akses transportasi dan pendataan, berisiko terabaikan.
Penyaluran seragam yang bergantung pada pengesahan APBD Perubahan 2025 yang mana kemudian jumlah seragam yang diberikan juga belum pasti, sehingga dapat meninggalkan kesan ketidakjelasan program ini kepada orang tua dan murid. “Janji-janji manis ini memang terlihat sangat baik di awal, namun jika tidak ada kepastian yang jelas, hal ini akan menjadi bumerang dan memicu kemarahan masyarakat. Daerah terpencil, dengan tantangan logistik untuk pendataan dan pendistribusian, hampir pasti terpinggirkan, memperlebar jurang ketimpangan pendidikan dan kesan pilih kasih,” ungkap Ade.
Kompor Foundation mendesak Pemprov Riau untuk segera memperhatikan permasalahan yang telah disebutkan diatas. Hal-hal terkait publikasi alokasi anggaran perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel. Pemerintah Provinsi Riau juga perlu menerapkan metode pendataan digital yang ketat dan tepat, serta mengintensifkan komunikasi publik untuk meredam ekspektasi berlebihan. Penyusunan strategi distribusi khusus untuk daerah terpencil juga perlu dipikirkan jauh-jauh hari. “Jika kelemahan ini dibiarkan, program ini bukan hanya gagal, tetapi juga bisa memicu kekecewaan massal dan ketegangan sosial. Riau butuh solusi nyata, bukan sekadar janji,” tutup Ade.